Tampilkan postingan dengan label proses batik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label proses batik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 Oktober 2011

Merunut Kejayaan Batik Giriloyo


Masih setia Membatik...
Asal usul tradisi batik di wilayah Yogyakarta dimulai sejak masa kerajaan Mataram Islam pada paruh keempat abad 16 yang pusatnya terletak di seputaran kawasan Kotagede dan Plered. Namun, masih terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita abdi dalem. Pada perkembangannya, tradisi batik meluas ke kalangan kraton lainnya, yakni istri para abdi dalem dan prajurit. Ketika rakyat mengetahui keberadaan kain bercorak indah tersebut, lambat laun mereka menirunya dan tradisi batik pun mulai tersebar di masyarakat. Desa-desa yang berdekatan dengan makam raja-raja Giriloyo ini, lebih dari seabad lalu memiliki perempuan perajin batik yang andal. Berdasarkan buku Out Of Indonesia, Collaborations of Brahma Tirta Sari, tingginya kebutuhan kalangan keraton akan busana-busana upacara berupa batik tulis buatan tangan membuat sentra kerajinan ini terus berkembang pesat (Kompas, 1 November 2005).

Usaha Batik Giriloyo yang tradisinya sudah berjalan sejak lebih dari seabad lalu berkembang makin pesat pada tahun 1960 – 1970 an. Bahkan, hingga awal tahun 2002 pun masih cukup banyak wisatawan yang datang dan memenuhi sentra-sentra batik yang tersebar di Desa Wukirsari dan Desa Girirejo. Usaha melestarikan dan memasarkan potensi batik ini tetap berlangsung hingga pada  2008 dibentuklah Paguyuban Batik Giriloyo Wukirsari, Imogiri, Bantul. Keberadaan Paguyuban Batik Giriloyo yang didukung penuh oleh beberapa LSM serta pemerintah daerah ini diharapkan bisa meningkatkan taraf kehidupan perajin dan menumbuhkan motivasi generasi muda untuk belajar membatik. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul  memasukkan Pelajaran Batik ke dalam kurikulum-Mulok pada Sekolah  Dasar.
Seiring langkah para pengrajin di tengah-tengah Paguyuban Batik Giriloyo, terutama setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), usaha kerajinan batik ini semakin menurun. Harga bahan baku batik tulis pun mengalami kenaikan. Harga kain mori yang sebelumnya di bawah Rp 25.000 naik menjadi Rp 40.000 per lembar. Harga malam (lilin) juga mengalami kenaikan dari sekitar Rp 11.000-an/Kg menjadi Rp 25.000-an/Kg. Para pengrajin/ pengusaha batik di Giriloyo yang masih bertahan hingga kini mengeluh,  mengaku tidak bisa menaikkan harga jual batik tulis produksinya karena dikhawatirkan bisa merusak pasar, yang selain melayani pasar lokal D.I. Yogyakarta juga melayani pasar luar negeri, terutama Jepang.

Jika ditengok kembali, usaha kerajinan Batik Giriloyo memang memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan. Di sini ada cukup banyak sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan membatik secara turun-temurun. Mereka pada dasarnya memang suka membatik dan memiliki minat untuk mengembangkan diri, misalnya ingin belajar pewarnaan atau melakukan eksplorasi membatik dengan media selain kain. Tingkat kreativitas para perajin itu didukung oleh sikap berpikiran positif. Secara umum, para perajin Batik Giriloyo tidak mengeluhkan kondisi mereka pasca gempa.
Motif Kontemporer dengan Warna Alam
Namun, di balik itu tetap ada beberapa hal yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam mengembangkan kerajinan batik, terutama kurangnya minat generasi muda untuk menggeluti usaha kerajinan batik. Penghasilan dari usaha pengrajin Batik Giriloyo ini yang tidak memadai dan tidak cepat membuat para pemuda lebih tertarik untuk bekerja di kota. Selain masalah tenaga kerja muda, masalah modal dan pemasaran juga menjadi masalah utama. Modal kerajinan yang berjalan saat ini praktis hanya dimiliki oleh pengusaha Batik Giriloyo yang mengadakan kain, sedangkan para perajinnya sama sekali tak memiliki modal selain tenaga membatik. Setelah karya batik selesai pun tidak diikuti oleh strategi pemasaran yang kuat. Kebanyakan batik yang dijual pengrajin Batik Giriloyo pun masih setengah selesai, yaitu hanya sampai proses nyerat (membuat motif). Proses selanjutnya tergantung pada para pengumpul atau para pengusaha batik yang bisa menyelesaikan prosesnya hingga menjadi batik siap pakai/jual. Salah satu hal yang jarang mendapatkan pengamatan adalah kemampuan branding Batik Giriloyo. Menurut Ibu Suli, motif batik Giriloyo bukan motif yang biasa dipakai oleh priyayi (bangsawan), sehingga harganya lebih rendah daripada batik bermotif Yogyakarta atau Surakarta. Padahal, kualitas kehalusan kain batik Giriloyo setara. Dengan kata lain, masyarakat konsumen batik pun masih belum memiliki apresiasi yang cukup terhadap batik Giriloyo.

Batik Tulis GIRILOYO